Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bullying, Kenapa malah Menjadi-jadi?

Bully ada dimana-mana
Bully ada dimana-mana

Kita dibuat terperangah oleh beberapa video bullying anak SD di YouTube. Salah satunya menggambarkan, beberapa murid SD menganiaya temannya di kelas. Mereka menendang dan memukulinya bergantian. Terdengar suara-suara menyemangati dalam bahasa Minang, “Taruih, taruih! Kapalo, kapalonyo!” Atau, “Terus, terus! Kepala, kepalanya!”

Ini adalah fenomena gunung es. Saya yakin banyak kasus-kasus bullying yang tidak muncul ke permukaan karena kebetulan tidak direkam atau luput dari media. Saya sendiri pernah memergoki tetangga saya yang juga siswi SD, dikeroyok teman-temannya di jalan kompleks. Dia dipukuli, ditendang, dijambak!

Pertanyaannya, mengapa separah ini generasi belia kita? Mengapa tradisi bullying atau penindasan ini semakin marak dan kian muda pelakunya?

(1) Sistem yang tidak melindungi korban

Bukan hanya di sekolah, bullying juga terjadi di lingkungan rumah, universitas, dan tempat kerja. Dalam beberapa kasus, korban bullying sampai bunuh diri lantaran tidak merasa sistem tempat dia hidup bisa menghentikan penindasan yang dialaminya. Tidak pernah ada mekanisme hukum yang tegas untuk membuat jera para bully ini. Terkadang malah ditumbuhsuburkan.

Ospek, contohnya. Mungkin saat ini sudah jarang kita melihat ospek-ospek yang konyol. Tapi sebagian kampus atau sekolah yang kurang intelek masih juga bangga menyelenggarakannya. Ospek semacam ini adalah salah satu bentuk bullying massal yang terstruktur dan didukung oleh otoritas sekolah atau kampus.

(2) Orangtua terlalu melindungi anak

Dulu, kalau nakal atau berbuat salah di sekolah, saya dijewer, dicubit, disuruh hormat tiang bendera di siang bolong, disuruh jalan jongkok atau lari keliling lapangan, menulis ratusan kalimat yang berulang, atau… ditampar guru (ya, saya pernah!).

Sekarang? Kalau hukumannya seperti itu, orangtuanya langsung protes ke sekolah. Soal hukuman tidak mendidiklah, pelanggaran HAM-lah, atau apalah. Akibatnya, murid menjadi merasa “terlindungi”. Sebagian anak ini, karena tidak diluruskan sejak kecil, bisa tumbuh menjadi manusia dada (jagoan) yang merasa berhak semena-mena terhadap yang lebih lemah.

(3) Dampak tayangan-tayangan bodoh

Lihatlah tayangan-tayangan di televisi kita, terutama sinetron, FTV dan show komedinya. Bertebaran tokoh-tokoh culas yang mengatur rencana-rencana untuk menjebak dan menganiaya tokoh lainnya, adegan-adegan bullying, secara fisik maupun verbal. Begitu juga tayangan-tayangan komedi kita, penuh dengan pukul-pukulan (meski itu gabus), saling ejek, atau kedunguan-kedunguan lainnya.

Ironisnya, tayangan-tayangan seperti ini justru digemari penonton (ya, kita sendiri!). Dan kita masih berharap tradisi bullying sirna? Padahal kita sendiri tidak kunjung move on dari tayangan-tayangan semacam itu? Bagai pungguk merindukan bulan.

(4) Jangan-jangan, kita sendiri pelakunya

Siapa yang mau di-bully? Saya ogah. Anda pun, saya yakin, tidak mau. Tapi banyak orang, sengaja atau tidak, ternyata menikmati kegiatan membuat orang lain menderita ini. Misalnya, kita enak saja mengejek teman dengan julukan bibir dower, Nobita karena cengeng dan bermata empat, atau lainnya.

Bagaimana kita memutus lingkaran setan bully kalau ternyata kitalah pelakunya. Kita menikmati sewaktu ada teman diolok-olok secara berjamaah. Kita ikut komen dan like ketika foto teman dijadikan bulan-bulanan di Facebook. Tapi kalau ditegur, kita cenderung menjawab, “Ah, itu udah biasa. Bukan bully dong, ini kan just for fun.” Padahal, jelas-jelas korbannya ngambek atau marah.

Lalu, adakah sebuah solusi jitu untuk memutus lingkaran bullying?

Pasti ada! Yang paling pertama, setiap orang tua harus cerdas mau menyekolahkan anaknya di mana.

Namun, bukan hanya itu solusinya. Sebab, ini masalah kompleks dan merupakan tugas bersama. Terutama orangtua (sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas anak), sekolah dan Dinas Pendidikan (untuk serius menciptakan sistem antibullying), serta industri hiburan gratisan (stasiun-stasiun televisi) plus KPI.

Apakah solusinya cukup dengan, seperti kata Menteri Pendidikan M. Nuh, menambahkan jam untuk pelajaran-pelajaran moral dan agama? Rasanya tidak sesederhana itu.

Percuma saja seorang siswa lancar mengaji, tetapi suka menggunjing dan berkata kotor. Tahu makna Tuhan Mahaadil, tetapi tak merasa takut dibalas Tuhan ketika mengintimidasi temannya. Tahu adab bertetangga, tapi cuek saat tetangga terkena musibah. Salat dan puasa, tapi suka membuang sampah sembarangan.

Ini akibat agama dijejalkan sedemikian rupa, sehingga belajarnya untuk nilai rapot, bukan untuk dipraktikkan dalam setiap aspek kehidupan. Di lain sisi, di negara-negara sekuler yang tidak kenal agama, orang-orangnya malah santun dan bisa berempati satu sama lain. Tanya kenapa, Pak Menteri?

Yang jelas, kalau rantai bullying ini tidak kita putus, Indonesia akan menjadi negara rimba, dimana semakin kita kuat dan kejam, semakin kita berkuasa. Anak-anak SD yang sadis itu, kalau tidak segera dibuat jera, pasti akan semakin piawai mem-bully kelak di SMP, SMA, universitas, dan tempat kerjanya.

- Tulisan Alva Altera