Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menanti BPJS Syariah pada 2015

- Oleh Brahmanto Anindito

Kemarin, saya berbincang-bincang dengan salah satu saudara yang anaknya terkena infeksi lambung. Menginap enam hari di rumah sakit, dia harus membayar 8 juta. Sakit memang mahal. Ini membuat saya berpikir untuk segera melindungi keluarga saya dengan kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), program jaminan kesehatan dari Pemerintah. Tapi sejujurnya, saya menunggu hadirnya opsi BPJS Syariah.

Saat ini, Pemerintah mewajibkan setiap pegawai untuk mengikuti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Lalu pada 2019 nanti, semua warga juga harus mendaftar BPJS.

Kebijakan “wajib BPJS” ini menimbulkan masalah, setidaknya pada dua orang. Pertama, orang yang tak mampu membayar iurannya (mungkin solusinya nanti pakai KIS, entahlah). Kedua, yang belum ada solusinya, orang yang ingin menjalankan aturan Islam secara penuh. Belum ada BPJS Syariah. BPJS yang ada saat ini masih dikelola secara ribawi, artinya hal yang sebenarnya haram bagi muslim.

Fatwa MUI atau Majelis Ulama Indonesia nomor 1 tahun 2004 menegaskan itu. BPJS Kesehatan dulunya bernama ASKES (Asuransi Kesehatan) yang dikelola secara konvensional. Sementara BPJS Ketenagakerjaan dulunya adalah Jamsostek, ini juga asuransi konvensional, yang memiliki manfaat investasi hari tua.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu tergolong orang-orang yang beriman.” (QS 2:278).
Lalu kita semua diwajibkan ikut program yang mengandung riba ini pada 2019. Jika menolak atau memilih tidak mendaftar, ada sanksi sosial dan administratif. Mungkin pengurusan perpanjangan KTP atau paspor kita dipersulit. Bagi perusahaan, mungkin izin usahanya dihambat sehingga tidak bisa mengikuti, misalnya, tender-tender.

Di lain sisi, BPJS itu sangat berguna, terlepas dari adanya keluhan di sana-sini. Banyak teman dan keluarga saya yang telah merasakan manfaatnya. Mereka harus membayar jutaan, belasan, atau bahkan puluhan juta bila tidak mengantongi kartu BPJS ketika dirawat di rumah sakit. Seperti yang dialami saudara saya tadi.

Lantas, apakah dengan begini kita “mengalah” saja ke Pemerintah? Menerima sistem riba ini demi asas manfaat dan berdasarkan kondisi darurat?

Tunggu, jangan buru-buru mengatakannya darurat.

Melihat tumbuh suburnya bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan syariah, saya yakin tak lama lagi akan keluar BPJS Syariah. Yang perlu dilakukan oleh Pemerintah tinggal mengundang DSN (Dewan Syariah Nasional) dan MUI untuk menganalisis dan mengaudit sistem BPJS, lalu menciptakan sistem baru yang selain bermanfaat bagi rakyat banyak, juga dipastikan kehalalannya.

Kabar gembiranya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku badan pengelola jasa keuangan dan perbankan akan mewujudkan ide BPJS Syariah ini. Ini berkat dorongan sejumlah tokoh Islam seperti Ketua NU Slamet Effendi Yusuf, Ketua Umum Asosiasi BMT Seluruh Indonesia (Absindo) Aries Muftie, dan lain-lain.

Meskipun demikian, barangkali fokus yang digarap dulu adalah BPJS Ketenagakerjaan. Sebab, sulit mengambil dana (dan mengelola dana) dari BPJS Kesehatan yang selalu berputar dan mengalir keluar-masuk dengan cepat.

Apapun, semoga realisasi BPJS Syariah ini bisa cepat. Saya sih berharap, pada 2015 ini juga.

Post a Comment for "Menanti BPJS Syariah pada 2015"