Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Buatlah yang Bisa Dijual, bukan Jual yang Bisa Dibuat

Buatlah yang Bisa Dijual, bukan Jual yang Bisa Dibuat

Di salah satu acara bincang bisnis yang saya ikuti beberapa tahun lalu, ada falsafah bisnis dari pembicara yang sampai sekarang saya ingat. Pembicara tersebut adalah pendiri Suara Surabaya FM 100, radio swasta nomor 1 di Surabaya, Soetojo Soekomihardjo (alm). Falsafahnya adalah, "Jangan jual apa yang bisa kamu buat, tapi buatlah apa yang bisa kamu jual."

Terkadang, dalam memulai bisnis, seseorang merasa cukup terjun hanya dengan modal keahlian dalam menciptakan sesuatu. Tetapi apakah sesuatu itu dapat dijual atau tidak, ia tidak ambil pusing dahulu. 

Buatlah Produk yang Ada Pasarnya

Buatlah Produk yang Ada Pasarnya

Kita tahu, untuk pebisnis pemula, penting sekali menjual produknya dengan mudah. Karena di awal-awal bisnis, aliran dana (cash flow) adalah segalanya. Sama vitalnya dengan aliran darah dalam tubuh kita.

Aliran dana keluar itu antara lain untuk membeli bahan produk serta biaya overhead produksi
(listrik, air, sewa tempat, gaji pegawai, dan lain-lain). Pengeluaran tersebut harus segera ditutup dengan hasil penjualan. Maka kalau tidak ada penjualan yang dihasilkan, bisnis tersebut terancam kolaps.

Kalau perusahaan itu modalnya besar, tidak mendapatkan arus kas positif selama bertahun-tahun pun memang tidak masalah. Perusahaan dapat terus berjalan.

Namun, bagaimana dengan perusahaan yang bermodal kecil? Begitu terasa pentingnya falsafah bisnis, "Jangan menjual apa yang bisa kamu buat, tetapi buatlah apa yang bisa kamu jual."

Soetojo mendapat falsafah bisnis yang sederhana tetapi berguna ini dari ibunya sendiri. Ketika muda, ia sering mendapati ibunya mendengarkan siaran RRI, salah satu radio legendaris, yang mengabarkan harga-harga bahan makanan pokok. Misalnya, harga cabe keriting, bawang merah, kol, dan seterusnya.

Ia bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa Ibu setiap hari harus mendengarkan siaran yang membosankan ini?" Bahkan bukan hanya ibunya, tetangga-tetangganya pun tak pernah ketinggalan menyimak siaran radio yang tidak lebih dari 15 menit per hari itu.

Jadi, sebenarnya ada kebutuhan-kebutuhan informasi spesifik yang belum terendus oleh radio-radio yang ada saat itu, terutama di daerah Surabaya. Di sanalah, ia mendapat falsafah, "Jangan menjual apa yang bisa kamu buat, tapi buatlah apa yang bisa kamu jual."

Falsafah itu kelak memudahkan perwujudan cita-citanya membuat suatu radio. Yakni radio yang terkesan memiliki informasi-informasi remeh, tetapi sebenarnya banyak dibutuhkan orang. Dibuatlah siaran yang menginfokan kondisi lalu lintas di Surabaya dan sekitarnya.

Carilah Keluhan Orang

Carilah Keluhan Orang

Itu tadi adalah kisah sukses SS. Bagaimana dengan bisnis kita sendiri? Pertanyaan yang perlu dijawab: apa yang bisa kita jual? Dengan bahasa sederhana, bagaimana mencari peluang usaha?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering ditanyakan ketika saya masih sering menjadi pembicara seminar yang menyebarkan virus kewirausahaan. Biasanya, yang bertanya adalah mahasiswa, ibu rumah tangga, atau orang yang ingin sekali punya bisnis.

Jawaban versi sederhananya adalah, “Sering-seringlah berkumpul kalau ada acara. Buka mata dan telinga. Lalu berburulah orang-orang yang sedang mengeluh, bisa dari ucapannya atau ekspresinya.”

Kenapa jadi berburu orang yang mengeluh?

Sebab, dari setiap keluhan seseorang itu, ada peluang usaha yang menunggu untuk ditindaklanjuti.

Contohnya, ibu dari almarhum Soetojo tadi. Meskipun tidak sampai mengucapkan keluhannya, lama-lama bisa kita prediksi mengapa setiap hari masyarakat harus mendengarkan harga-harga sembako di RRI. Mungkin uang untuk belanjanya terbatas, jadi harus berhemat. Bisa juga sebagai bekal dalam tawar-menawar di pasar, biar tidak dibohongi pedangan pasar soal harga.

Contoh lainnya, mengapa ada layanan layan-antar makanan? Karena seseorang melihat keluhan dari orang-orang sibuk di kantornya. Mereka tidak ada waktu untuk keluar kantor, tidak mau berpanas-panasan saat jam makan siang, tidak mau bermacet-macet di jalan, sementara mereka bosan dengan menu yang ada di kantin atau penjual sekitar kantor.

Jadi, sering-seringlah berburu keluhan orang. Kalau sudah terbiasa dan terlatih, otomatis akan muncul di dalam otak, peluang-peluang usaha. Bukankah dari dulu orang selalu bilang, “Masalahmu adalah sumber rezekiku.”

Di situlah kita akan bisa menjual apa yang kita buat.


- Tulisan: Ino Permana, konsultan bisnis spesialis bidang kuliner