Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Idul Fitri, Tellasan dan Tradisi Islam

Masjid agung Madura
Masjid Agung Madura
- Oleh Ihsan Maulana

Dalam suasana Lebaran di komunitas muslim Madura, ada selebrasi unik yang disebut Tellasan Petra. Kalau kita cermati, tradisi ini merupakan jawaban atas tudingan bahwa Islam Indonesia adalah Islam periferal yang non-otentik. Teori selama ini, Islam Indonesia yang berstatus popular religion (agama rakyat) dari setiap etnisnya merupakan entitas yang jauh dari nilai kesahihan akibat intervensi sinkretisme.

Pendapat ini sama dengan pendapat Islam puritan sekaligus lawan wacananya, yaitu para orientalis. Bagi kaum puritan, Islam Indonesia adalah Islam yang heterodoks, nonkanonik, serta labil karena faktor sinkretis. Bid’ah dan takhayul sering ditudingkan komunitas ini terhadap normativitas muslim Indonesia, termasuk Madura.

Para orientalis seperti Geertz, Van Leur, Winstead dan juga London juga memberikan tudingan yang sama. Bagi mereka, semakin jauh domisili Islam dari sentral-sentral otoritasnya di Timur Tengah, semakin memberi peluang menyimpang. Islam Indonesia menurut Van Leur adalah Islam yang tereduksi karena merupakan lapisan tipis kultur lokal. Islam tidak membawa progresivitas apapun bagi Indonesia baik secara sosial maupun kultural karena faktor simbiosisnya dengan tradisi Hindu-Budha.

Sementara bagi Geertz, Islam Indonesia adalah Islam yang tercerai dari pusat ortodoksi Mekkah dan Kairo. Banyak tradisi Islam Indonesia yang anislamik, hinduistik dan nominal. Geertz menolak asumsi bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang otentik. Di matanya, Islam di Indonesia tak lebih dari variasi Hinduisme, Buddhisme, bahkan animisme.

Pendapat para orientalis ini sebenarnya telah dimentahkan oleh perayaan kultural Tellasan Petra di Madura. Identifikasi bahwa kultur Islam Madura adalah Islam yang tidak terputus dari pusat otoritasnya di jazirah Arab dapat terlacak dari persamaan perspesi orang Arab dengan sebagian orang Madura tentang Idul Fitri sebagai sarana untuk kembali fitri (bersih atau petra).

Tellasan sendiri merupakan wujud Islam kreatif ala Madura. Slametan maupun ter-ater sejatinya merupakan reformulasi apa yang disebut Richard Martin sebagai Islam esensialis, atau apa yang disebut B. Malinoswki sebagai fungsionalisasi supernaturalisme.

Islam esensial, menurut Martin, adalah Islam yang tidak dimandatkan secara tegas oleh Alquran dan Assunnah, namun secara luas diamalkan karena dijustifikasi secara substantif oleh Alquran dan Assunnah sendiri. Substansi selametan sendiri terdapat pada indigenisasi sedekah dalam persemaian domestik. Pada tataran ini, fungsi sedekah untuk menolak bala sebagaimana universalitas teks Hadits diformalkan dalam domestikasi selametan.

Dengan selametan, harapannya terjalin relasi horizontal antara Tuhan yang supranatural dengan manusia yang natural melalui ritual sedekah. Secara sosiologis, ritual selametan ini juga bertujuan demi langgengnya kekerabatan antar berbagai keluarga.

Sementara itu, ter-ater yang biasa dilakukan mengiringi selametan memiliki fungsi mirip dengan apa yang dikatakan Durkheim tentang “manifestasi penguatan solidaritas sosial antar partisipan melalui performa dan pengabdian.” Selametan dan ter-ater melakonkan apa yang disebut oleh Arnold Van Gennep sebagai rite de passage, sebuah koordinasi tradisi untuk menandai lahirnya sebuah status baru dalam hierarki masyarakat.

Dengan demikian, periferalitas Tellasan dan selametan yang berkutat di sekitar Idul Firi tidak boleh dinilai sebagai perlawanan terhadap Islam otentik. Ia justru merupakan manifesto kreatif yang mengajarkan bahwa Islam Madura bukanlah tradisi pinggiran yang predestinatif. Boleh dikata, tradisi Islam Madura telah menghilangkan kebingungan besar tentang bagaimana menginterpretasikan Islam kontemporer seperti yang melanda sejumlah kalangan akhir-akhir ini.

Nah, selamat ber-Tellasan, kawan-kawan di Madura sana! Dan untuk semuanya, kami di Warung Fiksi, mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. _/|\_

Post a Comment for "Idul Fitri, Tellasan dan Tradisi Islam"